Senin, 21 November 2011

Lgi rajin posting nih. eeeh, wifi malah macet2 =.="
Lagi-lagi aku pengen bagi-bagi cerpen aja. :))
Pernah dimuat di majalah sekolah sebagai partisipan aktif :3 selamat menikmati~

Tittle:         
CINTA MAYA        
                                                                   
            -Agustus 2009-
            “Huhh…” tanpa kusadari, aku mendesah pelan. Hari ini merupakan hari bersejarah, dimana aku pertama kali datang ke kota metropolitan. Sedikit norak, ya. Nggak apa-apa, memang begitu kenyataannya, karena aku memang belum pernah datang ke kota besar seperti ini.
            Beberapa minggu yang lalu aku mengikuti tes masuk Universitas Indonesia, dan syukurlah, mereka bisa memasukkan aku yang seorang siswi lulusan SMA biasa dengan hasil tes yang menurutku memuaskan.
            Selesai merapikan barang-barang di kamar kostku yang baru, kurebahkan tubuhku yang letih karena sedari tadi diombang-ambing burung besi alias pesawat terbang. Sambil menatap langit-langit aku merenung, masih belum percaya bahwa aku sedang berada di kota Jakarta, kota yang hanya bisa kulihat dari layar televisi. Menyadari hal tersebut, tiba-tiba bayangan laki-laki dari masa lalu itu muncul kembali. Kenangan lama berkelebat dan berlarian di kepalaku, menguak luka lama yang kupaksakan untuk sembuh walaupun aku tahu itu tak akan bisa sembuh, sekalipun aku membalutnya dengan bermeter-meter perban.
***
            -Juni 2007-
            Rafel. Namanya Rafel Derindra. Bagus, ya? Selisih umur kami sekitar lima tahun, lumayan jauh, sih. Kak Rafel sudah bekerja, katanya bekerja di bidang seni lukis. Keren banget, yah? Hmm, awalnya kami kenal lewat facebook, entah bagaimana kami bisa saling tukar nomor handphone. Setelah itulah kami jadi semaki akrab (dalam dunia maya tentunya), dan kami merasa begitu cocok. Semakin hari rasanya semakin akrab. Kami juga mulai saling terbuka, saling menceritakan masalah pribadi masing-masing. Bahkan obrolan mulai ngelantur kesana kemari. Yang cerita tentang keluarga lah, bahkan sampai pernikahan pula, hahaha…
            Kak Rafel itu baik sekali, dia benar-benar bisa menghargaiku sebagai wanita. Dia itu sudah seperti kakakku, aku senang sekali bisa mengenalnya.
***
            -Mei 2008-
            Bingung. Bingung, bingung, binguuung!
            Ampuuun! Aduuuh, apa-apaan ini? Aku nggak nyangka Kak Rafel bilang seperti itu padaku. Memang aku sadar, sejak beberapa bulan lalu hubungan kami menjadi aneh. Kata-kata yang seharusnya tidak boleh kami gunakan malah sering bermunculan seenaknya. Seperti miss you, love you, beib, sayang, dan aaagh, aku nggak bisa menyebutkan semuanya. Tidak ada hubungan khusus di antara kami. Lalu, kenapa kata-kata itu bisa mucul saat aku dan Kak Rafel SMS-an? Aku juga tidak tahu.
            Aku bingung sekali, sebenarnya perasaan apa yang kurasakan akhir-akhir ini? Aku merasa aneh, aku jadi sering menunggu-nunggu SMS dari Kak Rafel, aku jadi gelisah sekali kalau Kak Rafel belum mengirim SMS padaku. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apa benar aku jatuh hati? Astaga, mana mungkin? Bukannya aku belum pernah bertemu dengan Kak Rafel? Bukankah Kak Rafel ada di Jakarta, di tempat nun jauh di sana? Jauh sekali dari daerah Surabaya. Lagipula, mana ada cinta dalam dunia maya? Kalau memang ada, berarti cinta itu pun bukan sebuah kenyataan.
            Tapi, apa yang sudah dikatakan Kak Rafel tadi membuatku sedikit takut, tapi juga senang, deg-degan, dan berbunga-bunga. Kalian sendiri tahu kan, bagaiamana rasanya jika seorang lelaki menyatakan perasaannya pada kita? Well, seperti itulah yang kurasakan saat Kak Rafel mengatakan bahwa dia ingin menjadi pasanganku seumur hidup. Kalau ‘nembak’ seperti anak-anak muda lainnya sih, nggak masalah.  Tapi ini, ‘seumur hidup’ itu artinya kan…?
            Hmm, menurutku itu gila! Bahkan bertemu pun belum pernah, kenapa mengatakan yang seperti itu? Lagipula aku masih sekolah, baru mau masuk kelas 3 SMA (doakan saja aku naik kelas, amin!), masih bau kencur begini.
            Aku bilang aku tidak bisa memutuskan seenaknya, dan sebaiknya Kak Rafel jangan membahas hal itu dulu, aku masih harus memikirkan sekolahku, bukan hal yang seperti itu, walaupun sebenarnya dalam hatiku ingin juga memikirkan masa depan.
            Semakin aku pikirkan, aku semakin bingung dan pusing. Aku sadar bahwa sejujurnya aku memiliki perasaan yang sama dengan Kak Rafel. Tapi… sebenarnya selama ini ada beberapa hal yang mengganjalku, benar-benar mengganjal pikiranku terhadap Kak Rafel.
            Yang pertama, bukannya Kak Rafel orang Jakarta? Secara fisik, dari foto bisa aku pastikan bahwa Kak Rafel termasuk laki-laki dari kategori high average. Manis, putih, sepertinya pintar, dan seorang pelukis juga. Mana mungkin cewek-cewek metro tidak ada yang menaksirnya? Lagipula cewek-cewek metro di sana lebih banyak, lebih cantik daripada aku, bahkan mungkin bisa lebih mapan. Kenapa harus aku yang dipilih?
            Dan satu hal yang paling sering aku pikirkan berhari-hari ini. Hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang lelaki ketika menyukai seorang wanita yang berada jauh darinya. Menelepon. Itulah yang aku herankan. Mengapa sampai sekarang Kak Rafel belum pernah menelponku? Kalian bisa membayangkannya bukan, hampir setahun kalian mengenal seseorang, lalu orang itu menyatakan perasaannya, tapi selama setahun itu dia belum pernah menelpon barang sedetikpun? Ini benar-benar gila. Bahkan saat menyatkan cinta pun lewat SMS. Aku pernah bertanya pada temanku, dan apa yang dia katakan? “Cowok yang tidak gentle itu cowok yang menyatakan perasaannya lewat pesan tertulis. Biasanya cowok seperti itu suka mempermainkan para cewek, hanya untuk bersenang-senang saja, karena dengan begitu kita tidak bisa melihat tingkat keseriusan lewat matanya. Ya, seperti Kak Rafel itu!” begitu katanya.
            Lalu kesimpulanya, apa benar Kak Rafel hanya main-main? Aku sendiri masih tidak bisa menjawabnya.
***
            -April 2009-
             Sudah satu tahun aku tidak lagi berhubungan dengan Kak Rafel. Ya, setahun lalu aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku tidak akan berhubungan dengan Kak Rafel, bahkan nomornya pun sudah kuhapus dari phonebookku..
            Mungkin perkataan temanku benar. Kak Rafel hanya main-main denganku. Buktinya, setelah kuutarakan kegelisahanku tentang Kak Rafel yang belum pernah meneleponku, dia tak kunjung meneleponku juga. Dan dia malah berkata seperti ini, “jadi kamu lebih percaya dengan kata-kata temanmu? Kakak benar-benar nggak ngerti bagaimana jalan pikiranmu yang kekanakan seperti itu.” Benar-benar mengesalkan, bukan? Akhirnya saat itu juga aku tidak pernah membalas SMS dari Kak Rafel.
            Berkali-kali Kak Rafel mengirimku pesan, dan hampir seluruhnya berisi tentang permohonan maaf. Kalau memang minta maaf, kenapa sampai sekarang Kak Rafel belum meneleponku juga? Hatiku menjerit. Mungkin Kak Rafel benar, pikiranku masih kekanakan. Bahkan sampai aku menyadari betapa sakitnya hatiku ketika berusaha untuk melupakan Kak Rafel, betapa aku sebenarnya ingin membalas SMS dari Kak Rafel, aku masih juga merasa gengsi untuk membalasnya. Ternyata rasa gengsiku lebih besar. Mungkin, Kak Rafel memang bukan ditakdirkan untukku, begitu pikirku, walaupun dalam hati aku berteriak akulah yang menyebabkan takdir itu
            Mungkin Kak Rafel merasa capek sendiri, setelah lima bulan berlalu akhirnya ia berhenti mengirimku pesan-pesan permohonan maafnya. Dan sejak itulah hubunganku dengan Kak Rafel berakhir, benar-benar berakhir! Tidak ada Kak Rafel lagi, tidak ada penyemangat lagi, semuanya berakhir dengan menyimpan luka di hati masing-masing.
***
            -Desember 2009-
            Hari ini Farah, teman baruku di kampus, mengajakku ke tempat pamannya bekerja. Farah hendak mengambil honor setelah kemarin membantu pamannya menata gedung pameran di daerah Senayan. Aku mau saja, toh, nggak ada kerjaan.
            Begitu kami tiba di pelataran gedung itu, Farah segera melesat menuju ruangan pamannya, sedangkan aku ditinggal begitu saja di pintu masuk! Awas aja ya! Ancamku dalam hati.
            Akhirnya aku memutuskan untuk berkeliling, melihat-lihat semua barang yang dipamerkan di sana.
            Mataku menyapu seluruh sudut ruangan, hingga akhirnya berhenti pada seseorang yang tengah duduk dan memperhatikan pengunjung yang datang. Perlahan aku berjalan mendekatinya, tiba-tiba jantungku berdegup kencang.
            “Kak… Rafel?” aku terbata. Jelas sekali, itu sosok Kak Rafel. Walaupun aku hanya pernah melihatnya dari foto saja, tapi aku yakin sekali bahwa orang itu benar-benar Kak Rafel.
            Sosok berkemeja rapi itu menoleh padaku, bisa kulihat dia amat terkejut saat menyadari kehadiranku. Dia hanya diam dan tergagap sambil menatapku, tidak berkata apa-apa.
            Aku menelan ludah, ”jadi, Kak Rafel tinggal di sekitar sini?” tanyaku. Kak Rafel mengangguk pelan.
            “Kak Rafel juga mengisi pameran ini? Lukisannya yang mana, Kak?” tanyaku lagi sok akrab. Dan lagi-lagi Kak Rafel hanya mengangguk. Berkali-kali aku berusaha untuk akrab, menanyakan kabar, menanyakan apapun untuk sekedar basa-basi, tapi Kak Rafel hanya menjawabku dengan anggukan dan gelengan saja, terlihat sekali kalau ia enggan berbicara denganku. Saat itulah aku sadar, Kak Rafel benar-benar telah membenciku. Perasaan menyesal dan sakit hati serasa menguapkan rasa yang telah lama kupendam dahulu. Semuanya bergejolak, sebenarnya tadi ingin sekali aku tertawa sambil berjingkrak-jingkrak saat tahu bahwa sosok itu memang Kak Rafel. Tapi kenyataan bahwa Kak Rafel benar-benar membenciku telah mengalahkan sebuah kenyataan lain, kenyataan bahwa perasaanku yang dahulu sebenarnya masih tersimpan rapi, dan semuanya benar-benar ingin kuluapkan saat ini.
            “Rafel!” seorang wanita yang kukira usianya jauh lebih tua dari Kak Rafel menyerukan namanya.
            Siapakah itu? Mungkinkah tunagannya? Atau istrinya??? Aduh, kenapa aku jadi kepikiran?
            Aku memutuskan untuk mengambil kesibukan lain, berpura-pura mengamati barang-barang yang dipajang di setiap sisi ruangan. Sudut mataku melirik nama dada yang terjepit di baju wanita itu. Oh, ternyata managernya.
            “Nak Rafel…” panggilnya pelan. Nak Rafel? Berarti orang itu bukan siapa-siapa Kak Rafel, kan…? Aduh, sejak kapan aku begitu peduli dengan hubungan orang lain?
            “Lukisanmu… di sana… sudah laku… baru saja… ada yang membelinya…”katanya pelan, seperti sedang mendikte anak TK, dan tangannya bergerak-gerak mengikuti intonasi bicaranya. Kulihat kak Rafel melakukan hal yang sama, tanpa mengatakan apa-apa. Aku bingung, sama sekali tidak mengerti, sebenarnya mereka sedang bermain apa, sih?
            Lalu perempuan itu manggut-manggut, kemudian mulai berbicara dengan gaya yang sama. Kak Rafel pun masih melakukan hal yang sama.
            Semakin lama aku semakin sadar, apa yang sebenarnya terjadi. Keringat dingin mengucur, jantungku berdetak cepat. Perasaan sedih, kesal, dan merasa bersalah muncul menyerangku, kurasakan persendian tubuhku lemas. Kutatap Kak Rafel dengan nanar.
            Setelah sekian lama mengenal Kak Rafel, rupanya aku baru menyadari satu hal yang tidak pernah kuketahui. Satu kenyataan yang bisa menjawab semua keraguanku terhadap Kak Rafel selama ini. Mengapa Kak Rafel tidak pernah meneleponku selama ini? Karena Kak Rafel memang tidak mungkin meneleponku, karena Kak Rafel tidak akan mungkin bisa berbicara denganku, karena Kak Rafel adalah seorang tuna wicara…!
***

Label:



phoo~miaw
08.55






11/19/11
11/21/11


Designer Eric Sim
Image StockXchange and Brushes Hybrid Genesis and Eric Sim